Sabtu, 21 November 2020

Record of Youth "Jangan Menyerah dalam Mengerjar Mimpi"

 


                        

         Drama Record of Youth adalah serial drama korea yang tayang pada 7 September s/d 27 oktober 2020 di Saluran TVN dan Netflix. Drama ini diperankan oleh aktor dan aktris muda yang sangat berbakat, yaitu Park Bo Gum, Park So Dam, Byeon Woo Seok, dan Kwon Soo HyunDrama ini di sutradarai oleh Ahn Gil Ho yang sukses dengan drama Korea Memories of Alhambra pada 2018 dan Watcher pada 2019. berkolaborasi dengan penulis Ha Myung Hee, yang terkenal dengan karya legendarisnya Temperature of Love.

            Record of Youth mengikuti kisah muda mudi di industri model yang berupaya mengejar mimpinya Sa Hye-joon (Park Bo-gum), model yang bekerja tanpa lelah untuk mewujudkan mimpinya sebagai seorang aktor. Di balik profesinya sebagai model, Sa Hye-joon juga seorang pekerja paruh waktu yang mencari pendapatan tambahan untuk ia bertahan hidup. Meski banyak hal tak berjalan sesuai harapan, Sa Hye-joon tak pernah menyerah pada mimpinya dan terus menantang diri untuk melangkah maju.

            "Sa Hye-joon adalah karakter yang rasional, dan ia memiliki nilai-nilai sendiri. Bertindak sebagai karakter yang jujur dan memiliki pendapat yang jelas serta kuat. Saya telah belajar cara hidup yang baru lewat peran ini," kata Park Bo-gum soal perannya tersebut. Di drama ini, karakter yang dimainkan Park Bo-gum berhadapan dengan Ahn Jung-ha (Park So-dam), seorang penata rias yang gigih sekaligus penggemar berat Sa Hye-joon.Ahn Jung-ha digambarkan sebagai pekerja keras dengan kepribadian yang tak mudah diguncang oleh segala yang terjadi di sekitarnya.Tujuannya adalah meninggalkan rasa tidak aman di dalam diri dan menemukan stabilitas dengan kedua kakinya sendiri.

            Sementara itu, Byun Woo-seok juga akan ikut meramaikan Record of Youth dengan berperan sebagai (Won Hae-hyo), seorang model dan aktor yang juga sahabat Sa Hye-joon.Dia adalah seorang pemuda yang ingin diakui karena kerja kerasnya bukan dengan apa yang dia miliki sejak lahir.Won Hae-hyo memiliki kepribadian yang baik dan sopan, tetapi juga memiliki daya saing yang kuat. Dia percaya bahwa ia bisa mencapai posisinya sekarang setelah melalui kompetisi yang adil dan setara dengan temannya, Sa Hye-joon.



            Meskipun orang tua Sa Hye Joon tidak mendukung mimpinya yang ingin menjadi Aktor tekenal tetapi dia tidak pernah menyerah dan selalu berusaha supaya dia dapat mewujudkan mimpinya dengan casting di banyak tempat, walaupun banyak yang menolak tetapi di tidak pernah menyerah. Orang tuanya selalu menyuruhnya untuk keluar dari dunia entertaint dan mencari pekerjaan yang biasa. tetapi dia tetap kekeh dengan pendiriannya bahwa dia bisa sukses dengan menjadi aktor terkenal.

            Sa Hye Joon selalu di beda-bedakan dengan abangnya oleh ayahnya dan selalu di nomor duakan karena abangnya pintar dan sudah berkerja di Bank. hanya neneknya lah yang selalu membela ketika dia dimarahi oleh ayahnya, makanya dia sangat sayang kepada neneknya. karena dulunya neneknya juga pernah masuk ke dunia entertaint tetapi tidak sukses dan malah ditipu oleh orang lain. Sa Hye Joon sangat berbakti kepada neneknya, dia membiayai neneknya di Sokolah Model khusus orang tua.

          Popularitas Sa Hye Jun meningkat setelah dia membintangi salah satu drama. Publik mulai penasaran dengan sosok yang menarik perhatian mereka lewat drama tersebut. Bahkan, tak lama setelah itu, Hye Jun mulai mendapatkan tawaran menjadi bintang iklan. Dan ahirnya dia berhasil sukses dengan jerih payahnya sendiri. dia juga memenangkan Acara Penghargaan sebagai Aktor Drama Terbaik.

            Ada banyak pesan-pesan terselubung bagi anak-anak muda yang hendak mewujudkan impiannya. Dalam menjalani kehidupan sebagai seorang remaja dan hendak mewujudkan impian, pasti kadang kala harus dihadapkan dengan berbagai macam cobaan. Namun sebagai remaja yang berteguh pada pendirian, harus bisa berpikir positif, dan percaya bahwa semua hal sulit pasti dapat dilalui persis seperti yang dialami oleh Sa Hye Joon dan Ahn Jung Ha.


 YENNI AFRILIA

1174020180

 

Rabu, 14 Oktober 2020

Surah An-Nahl 125 dan Kandungan Prinsip Metedologi Dakwah dan dan perkembangan metode Dakwah

 

Surah An-Nahl 125  dan Kandungan ayat


Prinsip Metedologi Dakwah dan dan Perkembangan Metode Dakwah



اُدۡعُ اِلٰى سَبِيۡلِ رَبِّكَ بِالۡحِكۡمَةِ وَالۡمَوۡعِظَةِ الۡحَسَنَةِ​ وَجَادِلۡهُمۡ بِالَّتِىۡ هِىَ اَحۡسَنُ​ؕ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعۡلَمُ بِمَنۡ ضَلَّ عَنۡ سَبِيۡلِهٖ​ وَهُوَ اَعۡلَمُ بِالۡمُهۡتَدِيۡنَ‏ ﴿16:125

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.(QS An-Nahl  [16]: 125).

Ayat di atas menerangkan tiga metode (tharîqah) dakwah atau mengemban risalah, termasuk risalah tentang seruan untuk menciptakan dan mengokohkan ukhuwah islamiyah. Ada cara yang berbeda untuk sasaran dakwah yang berbeda.

Pertama: dengan hikmah, maksudnya dengan dalil (burhan) atau hujjah yang jelas (qath‘i maupun zhanni) sehingga menampakkan kebenaran dan menghilangkan kesamaran.Sebagian mufassir seperti as-Suyuthi, al-Fairuzabadi, dan al-Baghawi mengartikan hikmah sebagai al-Quran. Ibnu Katsir menafsirkan hikmah sebagai apa saja yang diturunkan Allah berupa al-Kitab dan as-Sunnah.

Penafsiran tersebut tampaknya masih global. Mufassir lainnya lalu menafsirkan hikmah secara lebih rinci, yakni sebagai hujjah atau dalil. Sebagian mensyaratkan hujjah itu harus bersifat qath‘i (pasti), seperti an-Nawawi al-Jawi.Yang lainnya, seperti al-Baidhawi, tidak mengharuskan sifat qath‘i, tetapi menjelaskan karakter dalil itu, yakni kejelasan yang menghilangkan kesamaran.An-Nawawi al-Jawi menafsirkan hikmah sebagai hujjah yang qath‘i yang menghasilkan akidah yang meyakinkan.An-Nisaburi menafsirkan hikmah sebagai hujjah yang qath‘i yang dapat menghasilkan keyakinan. Al-Baidhawi dan Al-Khazin mengartikan hikmah dengan ucapan yang tepat (al-maqâlah al-muhkamah), yaitu dalil yang menjelaskan kebenaran dan menyingkirkan kesamaran (ad-dalîl al-muwadhdhih li al-haq wa alimuzîh li asy-syubhah). Al-Asyqar menafsirkan hikmah dengan ucapan yang tepat dan benar (al-maqâlah al-muhakkamah ash-shahîhah).

Walhasil, jumhur mufassir menafsirkan kata hikmah dengan hujjah atau dalil. Dari ungkapan para mufassir di atas juga dapat dimengerti, bahwa hujjah yang dimaksud adalah hujjah yang bersifat rasional (‘aqliyyah/fikriyyah), yakni hujjah yang tertuju pada akal. Alasannya, para mufassir seperti al-Baidhawi, al-Alusi, an-Nisaburi, al-Khazin, dan an-Nawawi al-Jawi mengaitkan seruan dengan hikmah ini kepada sasarannya yang spesifik, yakni golongan yang mempunyai kemampuan berpikir sempurna. Cara dakwah dengan hikmah ini tertuju kepada mereka yang ingin mengetahui hakikat kebenaran yang sesungguhnya, yakni mereka yang memiliki kemampuan berpikir yang tinggi atau sempurna; seperti para pemikir dan cendekiawan. Dalam konteks ukhuwah islamiyah, kepada mereka perlu disampaikan berbagai dalil (hujjah) mengenai kewajiban memelihara ukhuwah islamiyah dan keharaman perpecahan di antara sesama kaum Muslim atas nama apapun. Menghadapi orang-orang yang menolak mengirimkan bantuan, termasuk pasukan/militer, untuk membantu kaum Muslim di Palestina, Afganistan atau Irak dengan dalih bahwa kita lebih baik berkonsentrasi pada urusan/kepentingan dalam negeri sendiri, misalnya, bisa ditempuh cara hikmah ini.

Kedua: dengan maw‘izhah hasanah, yaitu peringatan yang baik yang dapat menyentuh akal dan hati (perasaan).Misalnya dengan menyampaikan aspek targhîb (memberi dorongan/pujian) dan tarhîb (memberi peringatan/celaan) ketika menyampaikan hujjah Sebagian mufassir menafsirkan maw‘izhah hasanah (nasihat/peringatan yang baik) secara global, yaitu nasihat atau peringatan al-Quran (mawâ‘izh al-Qur’ân). Demikian pendapat al-Fairuzabadi, as-Suyuthi, dan al-Baghawi. Namun, as-Suyuthi dan al-Baghawi sedikit menambahkan, dapat juga maknanya adalah perkataan yang lembut (al-qawl ar-raqîq).

Merinci tafsiran global tersebut, para mufassir menjelaskan sifat maw‘izhah hasanah sebagai suatu nasihat yang tertuju pada hati (perasaan), tanpa meninggalkan karakter nasihat itu yang tertuju pada akal.Sayyid Quthub menafsirkan maw‘izhah hasanah sebagai nasihat yang masuk ke dalam hati dengan lembut (tadkhulu il­â al-qulûb bi rifq).An-Nisaburi menafsirkan maw‘izhah hasanah sebagai dalil-dalil yang memuaskan (ad-dalâ’il al-iqnâ‘iyyah), yang tersusun untuk mewujudkan pembenaran (tashdîq) berdasarkan premis-premis yang yang telah diterima.Al-Baidhawi dan Al-Alusi menafsirkan maw‘izhah hasanah sebagai seruan-seruan yang memuaskan/meyakinkan (al-khithâbât al-muqni‘ah) dan ungkapan-ungkapan yang bermanfaat (al-‘ibâr al-nâafi‘ah). An-Nawawi al-Jawi menafsirkannya sebagai tanda-tanda yang bersifat zhanni (al-amârât azh-zhanniyah) dan dalil-dalil yang memuaskan. Al-Khazin menafsirkan maw‘izhah hasanah dengan targhîb (memberi dorongan untuk menjalankan ketaatan) dan tarhîb (memberikan ancaman/peringatan agar meninggalkan kemaksiatan).

Dari berbagai tafsir itu, karakter nasihat yang tergolong maw‘izhah hasanah ada dua:

  1. Menggunakan ungkapan yang tertuju pada akal. Ini terbukti dengan ungkapan yang digunakan para mufassir, seperti an-Nisaburi, al-Baidhawi, dan al-Alusi, yakni kata dalâ’il (bukti-bukti), muqaddimah (premis), dan khithâb (seruan). Semua ini jelas berkaitan dengan fungsi akal untuk memahami.
  2. Menggunakan ungkapan yang tertuju pada hati/perasaan. Terbukti, para mufassir menyifati dalil itu dengan aspek kepuasan hati atau keyakinan. An-Naisaburi, misalnya, mengunakan kata dalâ’il iqnâ‘iyyah (dalil yang menimbulkan kepuasan/keyakinan). Al-Baidhawi dan al-Alusi menggunakan ungkapan al-khithâbât al-muqni‘ah (ungkapan-ungkapan yang memuaskan). Adanya kepuasan dan keyakinan (iqnâ‘) jelas tidak akan terwujud tanpa proses pembenaran dan kecondongan hati. Semua ini berkaitan dengan fungsi hati untuk meyakini atau puas terhadap sesuatu dalil. Di antara upaya untuk menyentuh perasaan adalah menyampaikan targhîb dan tarhîb, sebagaimana ditunjukkan oleh Al-Khazin.

           Cara dakwah dengan maw‘izhah hasanah ini tertuju kepada masyarakat secara umum.Mereka adalah orang-orang yang taraf berpikirnya di bawah golongan yang diseru dengan hikmah, namun masih dapat berpikir dengan baik dan mempunyai fitrah dan kecenderungan yang lurus.Demikian menurut al-Baidhawi, al-Alusi, an-Nisaburi, al-Khazin, dan an-Nawawi al-Jawi.

Dalam konteks ukhuwah islamiyah, kepada mereka perlu disampaikan bahwa memelihara ukhuwah islamiyah adalah wajib, yang berkonsekuensi pahala jika ditinggalkan, dan menyulut perpecahan adalah haram, yang berkonsekuensi dosa jika dilakukan. Menghadapi orang awam yang cenderung fanatik terhadap mazhab, partai, atau harakahnya dan tidak toleran terhadap pihak lain, misalnya, bisa ditempuh caramaw‘izhah al-hasanah ini.

 Ketiga: dengan jadal (jidâl/mujâdalah) billati hiya ahsan, yaitu debat yang paling baik. Dari segi cara penyampaian, perdebatan itu disampaikan dengan cara yang lunak dan lembut, bukan cara yang keras dan kasar Dari segi topik, semata terfokus pada usaha mengungkap kebenaran, bukan untuk mengalahkan lawan debat semata atau menyerang pribadinya. Dari segi argumentasi, dijalankan dengan cara menghancurkan kebatilan dan membangun kebenaran.

Sebagian mufassir memaknai jidâl billati hiya ahsan (debat yang terbaik) secara global. Al-Fairuzabadi, misalnya, menafsirkan jidâl billati hiya ahsan sebagai berdebat dengan al-Quran atau dengan kalimat Lâ ilâha illâ Allâh. Contohnya, menurut as-Suyuthi, adalah seperti seruan kepada Allah dengan ayat-ayat-Nya dan seruan pada hujjah-hujjah-Nya.

Pada penafsiran yang lebih rinci akan didapati perbedaan pendapat di kalangan para mufassir. Akan tetapi, perbedaan itu sesungguhnya dapat dihimpun (jama’) dan diletakkan dalam  aspeknya masing-masing. Perbedaan itu dapat dikategorikan menjadi tiga aspek:

  1. Dari segi cara (uslûb), sebagian mufassir menafsirkan jidâl billati hiya ahsan sebagai cara yang lembut (layyin) dan lunak (rifq), bukan dengan cara keras lagi kasar. Inilah penafsiran Ibn Katsir, al-Baghawi, al-Baidhawi, al-Khazin, dan M. Abdul Mun’in Al-Jamal.
  2. Dari segi topik (fokus) debat, sebagian mufassir menjelaskan bahwa jidâl billati hiya ahsan sebagai debat yang dimaksudkan semata-mata untuk mengungkap kebenaran pemikiran, bukan untuk merendahkan atau menyerang pribadi lawan debat. Sayyid Quthub menerangkan bahwa jidâl billati hiya ahsan bukanlah dengan jalan menghinakan (tardzîl) atau mencela (taqbîh) lawan debat, tetapi berusaha meyakinkan lawan untuk sampai pada kebenaran.
  3. Dari segi argumentasi, sebagian mufassir menjelaskan bahwa argumentasi dalam jidâl billati hiya ahsan mempunyai dua tujuan sekaligus, yaitu untuk menghancurkan argumentasi lawan (yang batil) dan menegakkan argumentasi kita (yang haq). Imam an-Nawawi al-Jawi menjelaskan bahwa tujuan debat adalah ifhâmuhum wa ilzâmuhum (untuk membuat diam lawan debat dan menetapkan kebenaran pada dirinya). Imam al-Alusi mencontohkan debatnya Nabi Ibrahim a.s. dengan Raja Namrudz.

Jika kita dalami, dalam debat itu ada dua hal sekaligus: menetapkan kebenaran dan menghancurkan kebatilan (Lihat: QS al-Baqarah [2] : 258).

Cara dakwah dengan mujâdalah billati hiya ahsan ini tertuju kepada orang yang cenderung suka berdebat dan membantah, yang sudah tidak dapat lagi diseru dengan jalan hikmah dan maw‘izhah hasanah. Dalam konteks ukhuwah islamiyah, menghadapi orang/kelompok yang mudah menganggap sesat atau mengkafirkan orang/pihak lain bisa ditempuh cara ini.

Bagian akhir ayat memberikan arti, bahwa jika kita telah menyeru manusia dengan tiga jalan tersebut, maka urusan selanjutnya terserah Allah. Memberikan hidayah bukan kuasa manusia, melainkan kuasa Allah semata. Kita hanya berkewajiban menyampaikan (balâgh); Allahlah yang akan memberikan petunjuk serta memberikan balasan, baik kepada yang mendapat hidayah maupun yang tersesat.


Senin, 05 Oktober 2020

Pertaman kali Nonton di Bioskop

 

Nama                           : Yenni Afrilia

NIM                            : 1174020180

JUR/KEL/SEM           : KPI-7-D

EMAIL                       : afriliayeni@gmail.com

Alamat                        : Dalan Lidang Kecamatan Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara

 

Perkenalkan nama saya Yenni Afrilia saya adalah seorang mahasiswa jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Universitas Negeri Sunan Gugung Djati  (UIN) Bandung. Saya berasal dari Medan Sumatera Utara tepatnya di Mandailing Natal.

Sebagai seorang anak-anak pada umumnya, waktu saya kecil saya suka sekali bermain dan menonton televisi. Saya mengenal dunia Film dari menonton Televisi berbagai genre Film sudah saya tonton dari saya kecil seperti, drama, komedi, kartun, horor, thriller.

Ketika menginjak usia remaja saya mulai suka drama korea dan film-film dari negara tersebut. sampai sekarang saya senang menontonnya, saat menonton saya memakai translate dan saya belajar bahasa dan juga bahagaimana kehidupan orang dinegara tersebut.

Pada tahun 2017 saya mulai memasuki dunia baru yaitu dunia perkuliahan. di kampung saya kan memang tidak ada Mall atau Bioskop. Saya ingat waktu pertama kali nonton Bioskop saya menonton “Despicable Me 3” saya menonton film terserbut di bersama 2 teman kuliah saya yang  sama-sama dari kampung.

Ahir-ahir ini saya senang menonton Film thriller dan Horor. Saya suka hal yang menegangkan    dan yang membuat deg-deg an sekaligus penasaran. Banyak orang yang keliru dengan Horor dan Thriller sama saja akan tetapi itu sangat berbeda.

Horor biasanya bertema mistis dan supernatural dengan tujuan utamanya adalah ketakutan para orang yang menontonnya dan tidak ada pesan moral (sedikit), beda halnya dengan thriller tujuan utamanya menghadirkan suasana tegang para penonton dan menekankan pesal moral.

 

Jumat, 02 Oktober 2020

Politik Dakwah atau Dakwah Politik

Pengertian Politik Dakwah

Politik dapat didefinisikan dengan berbagai cara. Tetapi bagaimana mendefinisikan satu hal pasti, bahwa politik mencangkup kekuasaan dancara pengunaan kekuasaan. Disamping itu,dalam pengertian seharihari politik juga berhubungan dengan cara dan proses pengelolaan pemerintah suatu Negara, oleh karena itu, politik merupakan salah satu kegiatan penting, mengingat bahwa suatu masyarakat hanya bias hidup secara teratur kalau ia hidup dan tingal dalam sebuah Negara dengan segala perangkat kekuasaanya.

Dakwah merupakan rekontruksi masyarakat sesuai dengan ajaran Islam, seperti sudah dikatakan, semua bidang kehidupan dapat dijadikan arena dakwah dan seluruh kehidupan bias digunakan sebagai sarana atau alat dakwah, kegiatan politik, sebagaimana kegiatan ekonomi, usaha – usaha, gerakan – gerakan budaya, teknologi, kreasiseni, kondifilasi hukum. Politik identik dengan kekuasaan yang berarti menghalalkan segala cara, sementara dakwah adalah untuk kebaikan dan perbaikan masyarakat yang jelas tujuan dan misi yang diembannya.

 

Partai Politik yang memanfaatkan Ulama untuk mendapatkan kekuasaan

Seseorang atau suatu organisasi yang berpolitik melalui dakwah seringkali menggunakan atribut-atribut dakwah dalam melakukan lobi-lobi politik. Di sini kekuasaan menjadi tujuan utamanya. Akibatnya, kebijakan dan sikap dari orang atau organisasi ini dapat tiba-tiba berubah menyesuaikan dinamika politik yang ada agar yang bersangkutan tetap berada dalam lingkaran kekuasaan, mendapat simpati masyarakat, atau alasan-lain yang bersifat duniawi. Biasanya alasan klasik yang diberikan dan disampaikan kemasyarakat adalah bahwa dengan masuk dalam lingkaran kekuasaan yang ada, maka dakwah akan lebih mudah dilakukan.

Saat ini kita lihat banyak partai politik yang menggunakan atribut dakwah dalam aktivitasnya. Adakah partai yang benar-benar berdakwah melalui jalur politik? Suatu partai yang berdakwah melalui jalur politik mestinya tidak akan berkoalisi dengan partai lain, khususnya yang tidak berorientasi dakwah, kecuali jika partai dakwah  tersebut berada pada posisi pemimpin koalisi atau pemenang pemilu. Partai ini tidak bias berkoalisi di bawah partai lain, bukan karena tidak mampu bekerjasama, melainkan karena landasan spiritual dalam pengambilan keputusannya berbeda.

Idealnya, keterlibatan agama dalam politik memang seharusnya seperti dikatakaan Immanuel Kant, agama harus terlibat dalam politik agar tercipta kepemimpinan yang bersih dan amanah. Namun dalam kenyataannya agama malah lebih sering sekedar dijadikan alat bagi para politikus untuk mendapatkan kekuasaan dengan mudah. Dalam hal ini, tentu tak lepas dari bantuan penggiringan opini dari para ulama.

Setiap kali pagelaran politik digelar, para ulama dan tokoh agama (termasuk ustad, pemimpin ormas keagamaan, penceramah, pimpinan institusi agama, akademisi) ikut sibuk menjadi "corong” politisi dan kandidat atau pasangan calon (paslon) tertentu. Bahkan tidak sedikit para tokoh agama dan ulama yang ikut terjun langsung menjadi "paslon” (calondewan) bersaing dengan tokoh-tokoh dari kubu lain.Sampai saat ini, banyak tokoh agama dan ulama yang terjun dan tertarik terhadap politik - kekuasaan. Simaklah hiruk-pikuk para tokoh agama dan ulama menjelang Pilkada ini. Karena didorong oleh "nafsu”, ambisi, keinginan, dan kepentingan tertentu (baik kepentingan politik-ekonomi maupun kepentingan ideologi-keagamaan), mereka rela menjadi "bamper” paslon tertentu. Merekarela "berkelahi” dan "berperang” dengan para tokoh agama danulama yang mendukungpaslon lain. Demi memuluskan jalan bagi paslon yang mereka dukun gitu, mereka juga tidak segan-segan menyitir ayat-ayat dan teks-teks keagamaan sebagai "legitimasiteologis”.

Kehadiran sosok ulamahendaknya menjadi teladan bagi elit politik yang lain, juga kepada umat manusia di Indonesia khususnya. Ulama adalah sosok yang dikenal ‘alim (berlimu) dan mempunyai moralitas yang baik. Dengan kehadiran ulama seharusnya bias mewarnai politik kekuasaan menjadi harmonis, bukan malah menambah kontras permusuhan antar golongan atau antar partai. Hal ini yang seharusnya diperhatikan oleh ulama.

Sebenarnya yang dititik
beratkan adalah peranan ulama dalam melakukan aktualisasinya di hadapan semua umatnya. Jika seorang ulama itu ikutan dildalam dunia politik, maka tidak lain adalah untuk menjadi figure dan teladan yang baik, entah itu bagi tokoh politikus yang lain atau masyarakat yang memandangnya. Namun jika ulama tersebut tidak mau berkecimpung dalam dunia politik, maka sewajarnya menjadi ulama yang sebenarnya. Artinya, ulama yang memang benar-benar mengasuh dan menuntun umat agar mendapat siraman rohani dalam menjalani kehidupan bersosial vertical dan horizontal. 


LIPUTAN KEGIATAN PPM (Praktik Profesi Mahasiswa)

Praktik Profesi Mahasiswa (PPM) dan Job Training merupakan kegiatan intrakurikuler yang mengikat dan menjadi salah satu syarat dalam mengiku...